Berburu Ulat sagu di Asmat ternyata menawarkan sensasi petualang yang berbeda dan menyatu dengan alam. Pengalaman itu saya rasakan ketika berada di Kampung Sawa Erma, Asmat. Perjalanan menuju Kampung Sawa Erma saja menempuh waktu satu setengah jam dengan menggunakan speedboat dengan kecepatan 40 PK dari Ibu kota Asmat, Agats. Berburu Ulat Sagu ini memang sudah menjadi tradisi di sana yang selain untuk kebutuhan makan sehari-hari adalah untuk pesta adat mereka yang bernama Pesta Ulat Sagu.
Saya bersama beberapa teman dari Agats, Kepala Suku dan beberapa teman dari Kampung Sawa Erma berangkat menggunakan perahu dayung khas Asmat untuk berburu ulat sagu ke hutan. Perahu dayung yang kami gunakan terbuat dari kayu besi, bentuknya panjang dihiasi ukiran khas Asmat di seluruh badan perahu dan kedua ujungnya dan lebar perahu hanya bisa untuk menekukkan lutut kita. Masyarakat sana biasa menggunakannya dengan cara berdiri dan menggerakan perahu dengan dayung yang ukurannya cukup panjang. Bagi orang awam, berdiri di atas perahu dayung itu saja harus ekstra hati-hati supaya tidak jatuh ke sungai. Menjaga keseimbangan badan dalam perahu dayung itu cukup sulit apalagi perahu itu sudah dalam keadaan jalan.
Kami berangkat sore hari dengan mengambil resiko langit yang sudah mendung dan mulai turun hujan gerimis. Pada saat itu juga saya langsung mempertanyakan hati apakah kita sanggup untuk melalui sungai Asmat yang lebar beriringan dengan pengalaman pertama saya untuk naik perahu dayung itu? Saya tidak tahu apa yang mesti saya ekspektasikan dari penjelajahan ini. Dengan kekuatan doa, keyakinan bahwa alam akan menjaga kita serta hati yang ringan, kami berangkat menuju hutan Dusun Sagu membelah sungai Kali Wasar berwarna kecoklatan itu.
Perahu mengalun maju mengekspresikan kebiasaannya melewati sungai sungai Asmat yang besar, gagah dan panjang. Kepala Suku pun mulai bernyanyi lagu ritual berburu ulat sagu sambil berdiri dibalas teman-temannya dengan sahutan semangat sambil berdayung ketempat tujuan. Iringan gesekan dayung dengan perahu tersebutpun tak mau kalah untuk ikut berharmonisasi dengan semangat kami. Seketika atmosfir berubah membawa saya hanyut dalam eksotika pedalaman budaya Asmat yang membuat saya kagum dan bangga bisa berada disana. Di pertengahan jalan, hujan sempat semakin deras namun tidak memadamkan semangat kami untuk terus maju. Sambil menikmati pemandangan sungai dan alam liar, kami bersyukur hujan sedikit demi sedikit mulai mereda. Kita semua sudah basah kuyup pas sampai di tempat tujuan dengan berjarak tempuh kurang lebih setengah jam, tetapi itu tidak menahan rasa kesenanganku. Saya lalu melepaskan alas kaki karena tidak memungkinkan untuk menggunakannya di medan lumpur yang membuat kaki saya tenggelam kotor sampai selutut. Saya harus berhati-hati juga untuk tidak menginjak daun-daun duri yang hidup bebas disana. Tapi tidak perlu takut dengan lintah karena tidak ada, malah yang ada adalah lalat babi yang lumayan besar yang sempat menggigit kecil kakiku.
Kami berjalan sambil menebas tanaman-tanaman yang menghalangi kami. Saya sudah tidak peduli dengan badan saya yang basah kuyup karena hujan dan lumpur yang ingin ikut serta mengotori badanku. Saya sudah cukup terpana berada didalam alam bebas Asmat, berjalan tanpa alas kaki merasakan langsung diri saya menyatu dengan alam. Tak lama kami telah menemukan pohon sagu yang sudah membusuk selama kurang lebih satu bulan dan memperkirakan adanya ulat-ulat sagu yang hidup di dalamnya. Sambil bernyanyi nyanyian lagu khas Asmat sebagai ritual berburu ulat sagu, dimulailah aksi memangkur batang sagu itu.
Sayapun ikut memangkur batang sagu sebentar sambil membayangkan bagaimana sensasi memakan ulat sagu itu. Tidak lama batang sagu itu pun terbelah membuat puluhan ulat sagu keluar dari asalnya. Mereka menggeliatkan badannya yang berwarna putih dan gemuk sebesar jempol tangan manusia. Kepalanya keras berwarna coklat gelap dengan sedikit tanduk kecil didepannya. Kepala Suku kemudian mengajarkan saya cara memakan ulat sagu yang kaya akan protein itu dan bisa dimakan secara mentah atau hidup-hidup. Kepala dari ulat sagu itu harus dipatahkan dan dibuang dan langsung dimasukkan kedalam mulut. Saya mengumpulkan semua keberanian yang saya miliki didukung dengan atmosfir alam Asmat yang kuat membuat jiwa saya ingin ikut merasakan bagaimana rasanya menjadi orang Asmat; Sayapun mencoba memakannya. Saya akhirnya bisa mengetahui rasa ulat sagu yang saya pikir dagingnya yang lembut seperti keju tetapi tidak sama sekali. Malah dagingnya hampir tidak ada dan hanya penuh dengan cairan yang mirip seperti rasa air kelapa dan kulitnya yang berasa krenyes krenyes. Sayapun akhirnya memakan 3 buah ulat sagu.
Lama-kelamaan saya sudah terbiasa memegang ulat sagu itu; Sambil berjongkok diatas batang sagu yang membuat badanku sedikit hangat, sayapun ikut bantu mengumpulkan ulat sagu itu untuk dibawa pulang yang akan dibungkus dengan daun-daun panjang, daun pucuk sagu muda. Setelah terkumpul, kita akhirnya mendapatkan 2 bungkus ulat sagu.
Kami semua kemudian pulang menelusuri trek arah datang ke hutan sagu dengan langit yang sudah mulai gelap. Saya pulang sambil mencoba untuk berdiri diatas alunan perahu dayung itu walaupun saya hanya bisa menjaga keseimbangan badan saya sebentar; Saya duduk di dalam perahu itu dengan perasaan yang sangat bersyukur, beruntung, dan bahagia sekali untuk bisa belajar salah satu budaya khas Asmat yang memperkaya wawasan petualangan saya di Indonesia.
Photographs by Anton Bayu Samudra
Note from The Adventuress:
Always stay as a Conscious Adventurer with The Adventuress spirit of Peace, Love, Adventure, Nature, and Positivity or PLAN+ in short. With that, you wouldn’t want to harm the nature and destroy it. Rather you would want to explore the earth to learn its beauty as your private experience that will teach you to be a better person each day and value the wonderful creation of God.
Peace & Light,
The Adventuress