Travelling adalah salah satu kegiatan yang bisa membuat jiwa saya bebas berpetualang menikmati indahnya kreasi Allah SWT. Selain itu, yang ingin saya ekslpor lebih jauh lagi adalah kehidupan sosial di suatu daerah yang berbeda-beda di setiap kabupaten di Indonesia. Beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke Pulau Bangka, saya mempunyai kesempatan untuk tinggal disebuah rumah warga di daerah Sungailiat.
Keadaan keluarganya sedang sakit pada saat saya akan menginap disana. Ibunya sakit maag akut, Bapaknya sakit batuk-batuk, dan kedua anaknya sedang penyembuhan dari sakit cacar. Belum lagi melihat kondisi rumah mereka yang sangat kecil dan sederhana, jauh dari keramaian dan jalan besar. Mudah-mudahan kedatangan saya saat itu bisa membuat mereka sedikit terhibur walaupun saya banyak kekurangannya. Ketika malampun tiba, mereka sekeluarga selalu tidur diatas tikar didepan tv kecil. Sayapun juga ikut tidur disana setelah ngobrol-ngobrol sama mereka.
Ibu dan Bapak yang tinggal dirumah itu sudah tidak bekerja lagi, jadi yang membantu dan mencarikan nafkah untuk keluarga adalah anak-anaknya. Salah satunya bekerja sebagai pegawai rumah makan ayam goreng cepat saji (seperti fried chicken) di tengah kota. Dia mempunyai skill berbahasa Inggris yang cukup lumayan dan mempunyai impian yang besar untuk bekerja di perhotelan yang berbintang. Adiknya yang bungsu, bekerja sebagai penelimbang timah didekat rumahnya karena ada sungai yang besar yang sekarang sudah kering akibat dari penambangan timah secara besar-besaran. Ini yang justru membuat saya tertarik untuk mengikuti dan melihat kegiatan nelimbangnya untuk ikut membantu membiayai keluarganya itu.
Matahari mengeluarkan sinar yang sangat terik namun itu tidak membuat sang bungsu untuk lelah bekerja nelimbang timah. Tanah yang kami pijak sungguh sangat kering dan panas, tapi jangan salah ketika ada bagian tanah yang masih ada airnya justru akan berbentuk seperti lumpur karena saya mengalami jatuh sampai setengah badan ketika hendak membantu sang bungsu yang lebih dulu jatuh. Alhasil badan saya kena lumpur setengah badan hehehe! Setelah kami berdua membersihkan lumpur dari badan, kami melanjutkan bekerja dengan membawa perlengkapan nelimbang timah seperti ember. Uuuuh… ternyata pekerjaan nelimbang timah itu membutuhkan kesabaran dan harus tahan akan panasnya matahari. Tapi hasilnya lumayan untuk membantu menghidupi kelurganya itu. Pada akhirnya, saya sudah melihat sendiri proses nelimbang timah yang dikerjakan secara individual dan manual.
Nah, setelah seharian melihat aktifitas sang bungsu; Keesokan harinya Bapak mengajak saya mancing ala-ala tradisional karena dia menyukai kegiatan memancing sejak dari dulu. Hanya sayangnya, sungai yang tadinya besar itu penuh dengan ikan dan air yang banyak, sudah mulai mengering dan tercampur bensin akibat penambangan timah besar-besaran disana. Kaki saya berasa sensasi panas yang berbeda karena air sungai yang masih ada disekitar rawa-rawa sudah tercampur besin atau kemungkinan solar. Disanalah Bapak mengajar saya memancing dengan menggunakan semacam kayu rotan yang sangat kecil dengan jumlah yang banyak yang disebar dibeberapa spot rawa-rawa yang sudah hampir mengering itu. Saya saja tidak bisa melihat perbedaan yang signifikan antara alat pancingannya dan tumbuhan rawa-rawa yang tumbuh seperti rumput itu. Uuuuh, disana saya mencopot alas kaki karena lokasinya adalah rawa yang keadaan tanahnya sangat lembap dan seperti lumpur. Bapaknya bercerita kalau dulu disungai ini ada buayanya tapi kalau sekarang kelihatannya sudah mulai berkurang atau malah tidak ada karena kondisi sungai yang sudah memprihatinkan itu.
Nonton TV hanyalah satu-satunya hiburan di rumah itu dan sayur-sayuran yang bisa ditanam disekitar daerah itu hanyalah tanaman singkong. Bersyukurlah kita semua yang hidup serba ada dan tidak kekurangan terutama yang tinggal didaerah Jakarta.
Setelah hanya beberapa hari saja saya tinggal disana, saya pulang ke Jakarta dengan membawa pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga pada saat itu. Walaupun kondisi keluarganya memprihatinkan tetapi mereka sangat baik dan selalu berusaha untuk memberi saya makan seadanya seperti nasi dingin, mie, dan daun singkong ; Dan tidak lupa untuk menyajikan minuman kopi. Minum kopi disana ternyata sudah menjadi suatu budaya dimana mereka minum pada saat pagi, siang, bahkan pada malam hari. Saya sangat senang untuk bisa merasakan bagaimana makan dan hidup seadanya bersama mereka. Saya pun akhirnya ikut merasakan bagaimana rasanya mandi di sungai bersama anak-anak lokal dan disana saya merasakan suatu kebahagiaan yang sangat bernilai.
Semoga Allah memberikan rezeki dan kebaikan kepeda keluarga itu sebanyak mungkin. Amin YRA.
Terima kasih kepada Crew Trans TV, Jika Aku Menjadi:
Mas Fikar (Assistant Producer)
Mba Kika (Scripwriter)
Mas Rendy (Camera Person)
Mas Ronggo (Reporter)
All photo’s by Mas Fikar’s Camera.